Komunikasi pikiran bahwa sadar sebenarnya mencoba untuk memberikan informasi positif kepada anak agar memahami maksud dan keinginan orang tuanya dan sebaliknya anak mampu menyerap sempurna setiap informasi yang berkualitas dari kedua orang tuanya.
Komunikasi merupakan kunci sukses hubungan antara orang tua dengan anak-anaknya. Bentuk kasih sayang seperti pelukan, ciuman, dan sentuhan merupakan bentuk komunikasi dari “pikiran bahwa sadar” yang perlu dipupuk dan dilatih kepada anak sejak anak usia dini. Harapanya sampai kapanpun komunikasi “kasih sayang” (compassionate) communication) dari kedua orang tua kepada anak-anaknya dapat terus berlangsung tanpa anak merasa malu dan terganggu.
Sebuah bentuk komunikasi “bawah sadar” harus memerhatikan factor-faktor seperti berikut.
1. Penggunaan bahasa tubuh
Ringkas atau rumitnya sebuah informasi yang akan diinformasikan dari orang tuanya ke anak-anaknya merupakan salah satu kunci sukses yang harus dipahami oleh orang tua.
Bahasa memegang peranan penting saat sebuah komunikasi diperlukan. Namun, bahasa tubuh juga mendukung terciptanya komunikasi harmonis antara orang tua dengan anaknya.
Jadi, anda perlu membiasakan diri untuk menyelaraskan antara bahasa yang digunakan dengan bahasa tubuh. Rumusannya adalah (komunikasi = Ucapan + Bahasa Tubuh). Sebagai contoh, saat anda mengatakan, ‘mas adi, mama sayang sama mas adi…” Namun, jika anda tidak memberikan makna kalimat itu lewat senyuman, anak tidak akan percaya bahwa anda tulus menyayanginya.
Apabila antara ucapan dengan bahasa tubuh anda tidak ada memiliki kesamaan, seorang anak menebak perasaan anda sehingga komunikasi anda yang tulus menyatakan rasa sayang tidak sampai kepada anak, sementara si anak menduga anda hanya omong kosong belaka. Anda perlu memastikan maksud dan tujuan ucapan benar-benar jelas tanpa menimbulkan kesan ganda (ambiguity).
Jika anda mengatakan bahwa anda mencintai anak anda, sementara anda tidak menyentuhnya, bahwa wajah tidak menunjukkan bahwa anda memang mencintai anak anda, anak tidak akan percaya pada anda karena tidak ada kesamaan antara kata-kata dan bahasa tubuh yang anda tunjukkan kepadanya. Itulah salah satu kekuatan bahasa tubuh (fiologis). Menariknya, tubuh kita ini sebenarnya tidak dapat berbohong.
Kata-katanya boleh bagus, tetapi jika tidak ditunjukkan dengan ekspresi di wajah atau bahasa tubuh banda, orang lain tidak akan percaya hal tersebut. Bahkan, seringkali kita tahu maksud seseorang hanya dari bahasa tubuhnya. “ma, mama nggak sayang yah sama aku?” pertanyaan ini dilontorkan ketika melihat ibunya yang sedang marah. Anak dapat mengenali perilaku dan ekspresi orang tuanya dengan melihat bahasa tubuh yang ditunjukkan.
2. Perintah menarik perhatian anak
Kemenarikan dan keasyikan informasi yang akan diinformasikan dan diterima oleh anak dapat membuat anak mengalihkan perhatianya ke orang tuanya. Ini merupakan kunci sukses bagaimana terciptanya hubungan harmonis antara seorang ibu atau bapak kepada anaknya. Informasi yang ingin disampaikan kepada anak, seperti “kamu harus rajin membaca buku…” harus benar-benar dapat menarik perhatian di anak.
Sebagai contoh, sebagai orang tua menyuruh anaknya membaca buku, tetapi tanpa diikuti oleh aktivitas membaca yang sering dilakukan oleh orang tuanya akan berdampak pada tidak menjadikan anak untuk melirik atau bahkan mengikuti apa yang anda suruh. Selain menyuruh anak untuk membaca buku, anak harus benar-benar diberi pemahaman tentang bagaimana kegiatan membaca itu menarik dan berikan bukti bahwa orang tua antusias pada saat membaca.
Dengan mengajaknya ke took buku, ketemu penulis, ke pameran buku, serta ikut terlibat dalam kegiatan membaca yang dilakukan orang tuanya maka proses membaca buku menjadi sesuatu yang sangat menarik bagi seorang anak dan pikiran bawah sadar anak akan secara otomatis terisi oleh indahnya membaca buku dan hal tersebut akan terus tertanam hingga usianya dewasa nanti.
3. Pahami sensitivitas anak
Sensitivitas anak saat menerima informasi dari orang tuanya harus dijadikan “sinyal-sinyal” bagi orang tua. Ingat, oang tua harus peka dan memahami kondisi dan situasi, yaitu “saat yang tepat” untuk dapat berkomunikasi dengan anak-anaknya.
Hargai perasaan anak sehingga saat orang tua suami dan istri) sedang adu pendapat, lakukan di tempat lain yang jauh dari jangkauan anak karena anak merekamnya di memori bawah sadar sehingga dapat berakibat pada emosi anak yang akan cenderung lebih di kemudian hari. Saat seorang anak sedang asik-asiknya bermain atau melakukan aktivitas tertentu, orang tua perlu melihat “timing” atau waktu yang tepat untuk berkomunikasi.
Kadang kala orang tua melakukan “jurus diktatornya” untuk memaksa setiap kehengaknya, bahkan kadang melakukan bentuk kekerasan, seperti menjewer kuping, mencubit, dan lain-lain. Ironisnya, bagi orang tua yang sibuk dalam urusan “ cari uang” alias bekerja, persentase waktu memdidik anak lebih dikuasai oleh baby sitter ketimbang orang tuanya. Bayangkan perlakuan baby setter kepada seorang anak majukannya (yang memang bukan anaknya) dapat diprediksi menggunakan “pola diktatorisme” alias “hajar bleh” yang penting kerjaan beres dan inilah awal timbulnya emosi negative anak.
4. Gaya penyampaian informasi
Gaya penyampaian informasi kepada anak perlu diperhatikan apalagi saat anak mulai tumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Seringkali orang tua dianggap sebagai sosok yang menakutkan bagi anak. Kemarahan orang tua seperti bentakan dan teriakan dianggap sebagai hal yang selalu melekat di pikiran bahwa sadar anak. Jika hal tersebut berlangsung lama, dapat menjadikan bagian hidup anak sepanjang masa.
Perlakukan orang tua kepada seorang anak terkadang selalu sama pada setiap masa, seperti intonasi bahasa, gaya bahasa, dan tata bahasa tanpa melihat secara jeli perkembangan kedewasaan anak. Saat mudah mulai memasuki usia sekolah dapat dipastikan pengucapan panggilan kepada anak dengan sebutan “dede’ kecil” di depan teman-temannya dapat berakibat pada timbulnya “ rasa malu” atau “dipermalukan”.
Jika orang tua tidak tanggap terhadap permasalahan ini, pikiran bawah sadar anak dapat melakukan “sabotase” alias berusaha ingin mempermalukan orang tuanya di kemudian hari nanti. Jadi, sudah saatnya anda berubah demi anak.
5. Gunakan semua pancaindra
Saat anak mulai memahami bentuk komunikasi sederhana maka itulah waktu yang paling tepat mengenalkan kepada anak sebuah bentuk komunikasi “bawah sadar”, seperti memperlihatkan raut wajah saat anak melakukan hal yang kurang terpuji, memberikan pujian desertai dengan pelukan dan sentuhan saat anak melakukan prestasi, menanamkan nilai-nilai kebaikan dengan membacakan cerita atau dongeng di saat anak menjelang tidur, dan lain-lain.
Intinya, jadikan komunikasi orang tua kepada anaknya hanya berupa kata-kata saja. Namun, lakukan pembelajaran kepada anak-anak dengan mengenalkan beragam bentuk komunikasi, seperti dengan memberikan senyuman (komunikasi secara visual).
Sapaan (komunikasi secara audio), dan tepukan atau pelukan (komunikasi kinestetik).
Semoga dengan mengenal komunikasi bawah sadar ini maka kualitas proses tumbuh kembang anak dapat maksimal dan orang tua sangat bangga kepada anak-anaknya pada saat ia dewasa nanti.